Di ulang tahunku yang ke 17,
sahabatku, Andre memberiku sekotak kecil kado yang terbungkus dalam kertas
berwarna biru. Tumben sekali dia, biasanya hanya membungkusnya dengan
kertas koran seadanya dan membuatku malas membukanya. Kado itu berisi jam tangan yang membuatku makin keren. Jam tangan pemberiannya
itu selalu aku pakai untuk menghormatinya, dan untuk menghormati diriku
sendiri.
Suatu hari, dia tiba-tiba cerewet mengingatkanku,
“Jangan telat latihan deh daripada dihukum lebih kejam sama coach.”
“Aku sih nyoba gak telat, tapi keadaan
malah ngebuat aku terpaksa telat.”
Ia menatapku serius, “Kalau aku uda
nggak ada lagi, dan gak main lagi, apakah hari ini kamu bakal berusaha tepat
waktu?”
Aku hanya menganga tanpa
menjawabnya.
Ia beranjak dan meninggalkanku
dengan senyuman yang tak seperti biasanya.
Sore itu, ketika matahari masih
memamerkan cahaya kuningnya, aku memarkir motorku dan berjalan menuju lapangan
basket.
“Tumben gak telat?” sindir Coach.
Aku hanya tersenyum pahit.
“Oh iya, dan tumben si Andre belum
dateng?” katanya.
Tiba-tiba handphoneku berdering.
Aku mengangkatnya. Mendengarkan seseorang yang sedang bicara diluar sana. Aku
mengangguk, perlahan lalu menangis tak percaya. Kemudian aku berlari
meninggalkan tempatku berlatih.
Aku menatapnya sambil sesekali
mengusap air mataku sendiri yang sengaja aku biarkan tumpah dengan leganya.
Aku melihat jam tangan pemberiannya.
“Jangan telat, ayo kita latihan,” kataku
sambil memegang batu nisannya.
Waktu adalah hal yang kita anggap
berharga namun sama sekali tak pernah kita manfaatkan sebaik mungkin, setepat
mungkin. Menyesal adalah lawan kita tapi kita malah menganggapnya sebagai
kawan. Ah, hidup kadang rumit. Bukan, bukan hidupnya yang rumit, tapi
manusianya yang bikin rumit.
Ah udahlah. Hargai saja waktumu sebelum Tuhan mengambilnya.
menyentuh hati :')
ReplyDeleteKak coba ceritanya lebih panjang sedikit, terus pembacanya dibuat penasaran. Pasti lebih bagus, tp ini juga udh bagus kok
ReplyDelete