Thursday, May 2, 2013

Waktu


Di ulang tahunku yang ke 17, sahabatku, Andre memberiku sekotak kecil kado yang terbungkus dalam kertas berwarna biru. Tumben sekali dia, biasanya hanya membungkusnya dengan kertas koran seadanya dan membuatku malas membukanya. Kado itu berisi jam tangan yang membuatku makin keren. Jam tangan pemberiannya itu selalu aku pakai untuk menghormatinya, dan untuk menghormati diriku sendiri.
Suatu hari, dia tiba-tiba cerewet mengingatkanku, “Jangan telat latihan deh daripada dihukum lebih kejam sama coach.”
“Aku sih nyoba gak telat, tapi keadaan malah ngebuat aku terpaksa telat.”
Ia menatapku serius, “Kalau aku uda nggak ada lagi, dan gak main lagi, apakah hari ini kamu bakal berusaha tepat waktu?”
Aku hanya menganga tanpa menjawabnya.
Ia beranjak dan meninggalkanku dengan senyuman yang tak seperti biasanya.
Sore itu, ketika matahari masih memamerkan cahaya kuningnya, aku memarkir motorku dan berjalan menuju lapangan basket.
“Tumben gak telat?” sindir Coach.
Aku hanya tersenyum pahit.
“Oh iya, dan tumben si Andre belum dateng?” katanya.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku mengangkatnya. Mendengarkan seseorang yang sedang bicara diluar sana. Aku mengangguk, perlahan lalu menangis tak percaya. Kemudian aku berlari meninggalkan tempatku berlatih.
Aku menatapnya sambil sesekali mengusap air mataku sendiri yang sengaja aku biarkan tumpah dengan leganya.
Aku melihat jam tangan pemberiannya.
 “Jangan telat, ayo kita latihan,” kataku sambil memegang batu nisannya.
Waktu adalah hal yang kita anggap berharga namun sama sekali tak pernah kita manfaatkan sebaik mungkin, setepat mungkin. Menyesal adalah lawan kita tapi kita malah menganggapnya sebagai kawan. Ah, hidup kadang rumit. Bukan, bukan hidupnya yang rumit, tapi manusianya yang bikin rumit.
Ah udahlah. Hargai saja waktumu sebelum Tuhan mengambilnya.

2 comments:

  1. Kak coba ceritanya lebih panjang sedikit, terus pembacanya dibuat penasaran. Pasti lebih bagus, tp ini juga udh bagus kok

    ReplyDelete