Aku
senang memainkan bola berwarna oranye, memantulkannya langkah demi langkah
kemudian melemparnya pada sebuah keranjang kehidupan. Lebay ya. Tapi, cuma anak
basket yang tau betapa bahagianya ketika kami memainkan permainan ini. Aku suka
saat aku menghabiskan waktu di lapangan basket untuk bermain maupun berlatih,
tapi aku benci saat aku selesai bermain dan menyadari bahwa tak ada sesuatu
lagi yang bisa membuatku senang.
Bermain
basket selama 2-3 jam lamanya dengan teman-teman setidaknya membuat hidupku lebih
berarti daripada hanya bermalas-malasan di kamar dan merenung membayangkan
seseorang yang tak pernah kita miliki. Ya kan? Nah daripada galau gak jelas,
mendingan main basket.
Bukan
anak basket namanya kalau belum cidera. Cidera adalah hal yang tak bisa
dijauhkan dari anak basket. Cidera adalah resiko. Bahkan, cidera bisa terjadi
hanya karena satu kesalahan kecil.
Aku
pernah cidera hanya karena posisi kakiku tidak berdiri dengan tepat saat usai
melompat. Terasa suara “KLEK!!” di lutuku. Sepanjang pertandingan memang tak
terasa, namun malam harinya, rasa sakit itu membuatku tak berdaya.
Masalahnya,
keesokan harinya aku ada UAS, jadi mau tak mau, meski sakit aku harus menuju
kampus untuk mengikuti UAS, ya daripada ngulangin lagi tahun depan. Dengan niat
dan tekad semangat cetar membahana ulala halilintar badai, aku pun berangkat ke
kampus. Untuk berjalan memang tak
seberapa, namun untuk menaiki tangga?
Aku
menarik nafas dalam-dalam dan memulai langkahku menaiki tangga. Hingga aku
mencapai lantai 3, tiba-tiba sepatuku terlepas dan jatuh ke lantai dua. Ah,
mengapa hal yang sulit terjadi dalam situasi yang sulit?
Aku
sudah telat memasuki kelas, aku hanya berpikir apakah aku menuruni tangga
menahan rasa sakit di kakiku dan mengambil sepatu lalu telat, ataukah aku
membiarkan sepatu itu dan memasuki kelas?
“Sepatu
ini punya kamu?” kata seseorang yang mengagetkanku. Dia adalah teman sekelasku.
“Iya,
thanks ya,” jawabku.
“Sini
aku pakein,” ia menunduk tepat di depanku.
“Nggak
usah! Nggak usah!” kataku menolak.
Dia
mengendorkan tali sepatu dan memasukkan kakiku ke dalamnya lalu mengencangkan
ikatan sepatu itu lagi.
“Nggak
usah sungkan, aku seperti ini karena dulu aku pernah pincang sepertimu, lalu
ada seseorang yang dengan senang hati
membantuku,” katanya sambil membersihkan debu di sepatuku dan berdiri tersenyum
menatapku. Kemudian ia membantuku berjalan menuju kelas.
No comments:
Post a Comment