Tuesday, December 18, 2012

Injury



Aku senang memainkan bola berwarna oranye, memantulkannya langkah demi langkah kemudian melemparnya pada sebuah keranjang kehidupan. Lebay ya. Tapi, cuma anak basket yang tau betapa bahagianya ketika kami memainkan permainan ini. Aku suka saat aku menghabiskan waktu di lapangan basket untuk bermain maupun berlatih, tapi aku benci saat aku selesai bermain dan menyadari bahwa tak ada sesuatu lagi yang bisa membuatku senang.
Bermain basket selama 2-3 jam lamanya dengan teman-teman setidaknya membuat hidupku lebih berarti daripada hanya bermalas-malasan di kamar dan merenung membayangkan seseorang yang tak pernah kita miliki. Ya kan? Nah daripada galau gak jelas, mendingan main basket.
Bukan anak basket namanya kalau belum cidera. Cidera adalah hal yang tak bisa dijauhkan dari anak basket. Cidera adalah resiko. Bahkan, cidera bisa terjadi hanya karena satu kesalahan kecil.
Aku pernah cidera hanya karena posisi kakiku tidak berdiri dengan tepat saat usai melompat. Terasa suara “KLEK!!” di lutuku. Sepanjang pertandingan memang tak terasa, namun malam harinya, rasa sakit itu membuatku tak berdaya.
Masalahnya, keesokan harinya aku ada UAS, jadi mau tak mau, meski sakit aku harus menuju kampus untuk mengikuti UAS, ya daripada ngulangin lagi tahun depan. Dengan niat dan tekad semangat cetar membahana ulala halilintar badai, aku pun berangkat ke kampus.  Untuk berjalan memang tak seberapa, namun untuk menaiki tangga?
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memulai langkahku menaiki tangga. Hingga aku mencapai lantai 3, tiba-tiba sepatuku terlepas dan jatuh ke lantai dua. Ah, mengapa hal yang sulit terjadi dalam situasi yang sulit?
Aku sudah telat memasuki kelas, aku hanya berpikir apakah aku menuruni tangga menahan rasa sakit di kakiku dan mengambil sepatu lalu telat, ataukah aku membiarkan sepatu itu dan memasuki kelas?
“Sepatu ini punya kamu?” kata seseorang yang mengagetkanku. Dia adalah teman sekelasku.
“Iya, thanks ya,” jawabku.
“Sini aku pakein,” ia menunduk tepat di depanku.
“Nggak usah! Nggak usah!” kataku menolak.
Dia mengendorkan tali sepatu dan memasukkan kakiku ke dalamnya lalu mengencangkan ikatan sepatu itu lagi.
“Nggak usah sungkan, aku seperti ini karena dulu aku pernah pincang sepertimu, lalu ada  seseorang yang dengan senang hati membantuku,” katanya sambil membersihkan debu di sepatuku dan berdiri tersenyum menatapku. Kemudian ia membantuku berjalan menuju kelas.



No comments:

Post a Comment