Suatu sore yang cerah,
aku berjalan menuju lapangan basket. Seperti biasanya, lapangan ini selalu
ramai. Terdengar suara anak kecil yang berlarian sambil mengejar bola. Lapangan ini memang amat luas, tak hanya
lapangan basket saja, namun juga ada lapangan futsal dan tennis sehingga
lapangan ini pun tak pernah sepi.
Aku
menunggu teman-temanku yang sudah berjanji untuk datang pada pukul 4 sore, tapi
sekarang sudah pukul 4.30. Ah, sudahlah. Anak zaman sekarang memang aneh,
janjian jam berapa, datangnya jam berapa. Aku harus benar-benar bersabar
menunggu orang yang sama sekali tidak tepat waktu. Mereka tak tahu, 30 menit
mereka telat, sama saja 30 menit mereka menyia-nyiakan waktuku.
Ya! They waste my time!
But, I don’t take this seriously, because it’s their tradition. And it will
never change.
Aku
meletakkan tasku dan bola basketku lalu duduk di bangku panjang berwarna hijau.
Sesekali aku memandang pintu gerbang dan berharap teman-temanku cepat datang. Tapi
mereka belum muncul juga.
Tak
lama kemudian, ada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba berdiri di depanku.
“Boleh
aku pinjam bolanya, Kak?” kata anak laki-laki yang berumur sekitar 10 tahun.
“Boleh,
tapi kenapa kamu nggak bermain sama teman-teman kamu di sana?” tanyaku.
“Karena
jika aku bermain bersama mereka, aku tak bisa berlari secepat mereka,” ia
menunduk.
“Kenapa?
Kelihatannya kamu sehat saja,” kataku penasaran.
Ia
melangkahkan kakinya dan duduk tepat di sampingku. Ia menjinjing celana
panjangnya yang berwarna hitam.
“Aku
tak bisa berlari seperti mereka. Sudah 2 tahun aku memakai kaki yang terbuat
dari besi ini semenjak kecelakaan tragis itu, Kak!”
Aku
memandangi kaki kirinya yang terbuat dari besi. Ia pun membenarkan kembali
gulungan celananya.
“Aku
suka banget sama basket, aku berharap aku bisa memiliki sepatu sebagus milik
kakak, dan memiliki bola basket seperti kakak, bahkan, kaki senormal kakak,” ia
memandangku sembari tersenyum. Ia tersenyum seakan lupa tentang kakinya yang
sempurna. Namun senyumannya memiliki lingkar yang sempurna.
“Ini
untukmu,” aku memberikan bola basket itu padanya.
“Terima
kasih, Kak! Nanti akan aku kembalikan.”
“Nggak
usah, simpan saja bola ini untuk kamu.”
“Tapi
aku cuma punya uang 15 ribu, Kak!” ia merogoh dompetnya dan memberikan aku uang
yang dimilikinya.
“Sudah,
simpan saja. Bermainlah sepuasnya, tak perlu kamu membelinya, karena tak ada
harga untuk sesuatu yang kamu cintai,” aku tersenyum memandangnya.
“Terima
kasih, Kak!” ia pun berlari kegirangan sambil mendrible bola, dan menembaknya
ke ring.
“Aku
lebih memilih memberikan bolaku, daripada aku harus membeli sebuah kaki,”
kataku dalam hati yang senang melihat anak laki-laki itu yang selalu ceria
bermain bola basket, meski sendirian.
No comments:
Post a Comment