Thursday, December 27, 2012

Tidak Ada Harga Untuk Cinta


            Suatu sore yang cerah, aku berjalan menuju lapangan basket. Seperti biasanya, lapangan ini selalu ramai. Terdengar suara anak kecil yang berlarian sambil mengejar bola.  Lapangan ini memang amat luas, tak hanya lapangan basket saja, namun juga ada lapangan futsal dan tennis sehingga lapangan ini pun tak pernah sepi.
            Aku menunggu teman-temanku yang sudah berjanji untuk datang pada pukul 4 sore, tapi sekarang sudah pukul 4.30. Ah, sudahlah. Anak zaman sekarang memang aneh, janjian jam berapa, datangnya jam berapa. Aku harus benar-benar bersabar menunggu orang yang sama sekali tidak tepat waktu. Mereka tak tahu, 30 menit mereka telat, sama saja 30 menit mereka menyia-nyiakan waktuku.
Ya! They waste my time! But, I don’t take this seriously, because it’s their tradition. And it will never change.
            Aku meletakkan tasku dan bola basketku lalu duduk di bangku panjang berwarna hijau. Sesekali aku memandang pintu gerbang dan berharap teman-temanku cepat datang. Tapi mereka belum muncul juga.
            Tak lama kemudian, ada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba berdiri di depanku.
            “Boleh aku pinjam bolanya, Kak?” kata anak laki-laki yang berumur sekitar 10 tahun.
            “Boleh, tapi kenapa kamu nggak bermain sama teman-teman kamu di sana?” tanyaku.
            “Karena jika aku bermain bersama mereka, aku tak bisa berlari secepat mereka,” ia menunduk.
            “Kenapa? Kelihatannya kamu sehat saja,” kataku penasaran.
            Ia melangkahkan kakinya dan duduk tepat di sampingku. Ia menjinjing celana panjangnya yang berwarna hitam.
            “Aku tak bisa berlari seperti mereka. Sudah 2 tahun aku memakai kaki yang terbuat dari besi ini semenjak kecelakaan tragis itu, Kak!”
            Aku memandangi kaki kirinya yang terbuat dari besi. Ia pun membenarkan kembali gulungan celananya.
            “Aku suka banget sama basket, aku berharap aku bisa memiliki sepatu sebagus milik kakak, dan memiliki bola basket seperti kakak, bahkan, kaki senormal kakak,” ia memandangku sembari tersenyum. Ia tersenyum seakan lupa tentang kakinya yang sempurna. Namun senyumannya memiliki lingkar yang sempurna.
            “Ini untukmu,” aku memberikan bola basket itu padanya.
            “Terima kasih, Kak! Nanti akan aku kembalikan.”
            “Nggak usah, simpan saja bola ini untuk kamu.”
            “Tapi aku cuma punya uang 15 ribu, Kak!” ia merogoh dompetnya dan memberikan aku uang yang dimilikinya.
            “Sudah, simpan saja. Bermainlah sepuasnya, tak perlu kamu membelinya, karena tak ada harga untuk sesuatu yang kamu cintai,” aku tersenyum memandangnya.
            “Terima kasih, Kak!” ia pun berlari kegirangan sambil mendrible bola, dan menembaknya ke ring.
            “Aku lebih memilih memberikan bolaku, daripada aku harus membeli sebuah kaki,” kataku dalam hati yang senang melihat anak laki-laki itu yang selalu ceria bermain bola basket, meski sendirian.
           

No comments:

Post a Comment