“Bener kan yang aku bilang? Pemain
seperti kamu itu nggak pantes duduk di bangku cadangan,” kata Kevin pada Irene
yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Irene menutup laptopnya dan
memandang Kevin, “Thanks!”
Sebuah senyuman manis itu tertuju
pada pria di depannya, Kevin.
“Cuma thanks doang?”
“Kalau ada kata yang lebih baik
dari ‘terima kasih’ pasti bakal aku ucapin.”
“Okelah, kalau gitu. Sama-sama!”
Kevin pun duduk tepat di depan Irene.
“Tapi sorry aku harus pergi dulu,
ya!” kata Irene tergesa.
“Aku baru aja duduk, kamu malah
pergi. Mau kemana sih?”
“Mau ikut?”
Kevin mengangguk.
“Beginilah aku, setiap ada jam kuliah
yang kosong, pasti latian shooting,” kata Irene sambil melepas jaketnya.
“Latian sendirian?” tanya Kevin.
“Iyalah, masa latihan basket sama
dosen.”
Irene mulai membuka kunci ruang
tempat penyimpanan bola. Ia memasukki ruangan itu dan kembali dengan membawa 4
bola di tangannya sedangkan sisanya lagi menggelinding tak karuan.
Ia pun mulai menata bola secara
acak. Ada yang ia taruh di bawah ring, di daerah free throw, ada yang ia taruh di sudut lapangan, ada juga beberapa
yang ia taruh di luar zona three point.
Irene melakukan pemanasan. Kemudian
memulai untuk melakukan shot. Menunduk mengambil bola, drible, shooting. Drible
lagi, shooting. Drible, shooting. Begitu seterusnya. Dari 50 tembakan yang ia
lakukan, ada 40 bola yang melesat tepat ke ring.
“Wait! Ini
nggak seru. Kamu shooting tapi nggak ada yang jaga, sama kayak… kayak apa ya? Ah,
lupain. Sini aku yang jaga, kamu yang offense,” sahut Kevin yang kemudian
berjalan ke arah Irene.
“Jadi
ceritanya aku lagi duel sama kapten basket cowok? Fine! Tapi awas kalau
senggol-senggol!” Irene pun melakukan check
ball.
Kevin mengumpan
balik bola basket pada Irene dan berkata, “Ren, kamu itu nggak ada semoknya. Kalau
nyenggol kamu juga rugi,” Kevin pun tertawa.
“SLEBBBBB!!”
bola basket masuk ring dengan mulusnya.
“Maaf
kapten, tapi skor kita 3-0,” Irene tersenyum sinis.
“Tapi
kan belum di…”
“Kapten,
it’s your turn. Jangan cerewet yah, tar gampang capek loh,” kata Irene sambil
memberikan bola pada Kevin. Giliran Kevin yang melakukan offense.
“Oh
jadi gitu ya cara main kamu shooter manis? Coba lihat ini,” Kevin menembak dari
garis 3 point, namun sayangnya air ball, bola sama sekali tak menyentuh papan
maupun ring.
“Ups! Kok
tembakan kamu nggak masuk? Bolanya yang kurang keras atau ringnya yang kurang
maju yah?” ejek Irene.
“Iya
iya iya! Sekarang giliran kamu!” sahut Kevin kesal.
Irene
memegang bola. Sejenak ia memikirkan cara untuk melewati pria besar di
depannya. Ia mendrible dan melangkah ke arah kiri, namun dengan cepatnya ia mengarahkan
bola dan melaju ke kanan, begitu mudahnya ia melewati Kevin. Tanpa ragu ia
mengeksekusi bola dengan lay-up dan
bola pun masuk.
“Maaf
kapten, 5-0!” Irene tertawa kecil.
“Santai
aja, bakal aku bales kok. Giliran aku yang offense,
sini bolanya!” pinta Kevin.
“KEVIIIIIIN!”
teriak Kelly sambil terengah-engah mengatur napasnya.
Kevin
menoleh kearah Kelly dan “BRAKKK!!!” bola basket yang di passing oleh Irene mengenai
wajahnya. Kevin terlihat kelimpungan.
“Maaf
kapten. Maaf! Are you ok?” kata Irene panik.
Kevin menatap
Irene dan terlihat darah mengalir dari hidungnya.
Kelly
membantu Kevin berjalan duduk di bench. Beruntung Irene membawa tissu, sehingga
darah itu bisa ia bersihkan
“Kalau kamu tadi nggak noleh pasti
nggak bakal kayak gini. Sorry, Kev!” Irene membersihkan sisa-sisa darah di sela-sela
jemari Kevin.
“Ehem.. Sorry ya ganggu. Aku kesini
mau ngasih flashdisk ini Kev, besok giliranmu presentasi. Ya udah lanjutin lagi
mainnya, soalnya aku uda pesen makan di kantin. Daaaaa..” Kelly mengedipkan
matanya pada Kevin lalu beranjak pergi.
“Kita lanjut main yuk?” Kevin
berjalan mengambil bola.
“Tapi kan hidung kamu…”
“Ah.. udahlah. Aku ini anak basket,
bukan boyband. Keadaaan kayak gimanapun kudu tetep main, apalagi main sama
kamu. Aku harus menang pokoknya. Harga diri dipertaruhkan!”
“Ciee pake bawa harga diri segala!”
“Can I start now?”
“Sure!”
Kevin mendrible bola ke arah kanan
dengan kecepatan penuh, kemudian berhenti tiba-tiba dan mengayunkan bola dari tangan
kanan, bola terpantul di belakang badannya atau biasa di sebut behind the back, lalu bola mendarat di
tangan kirinya dan melakukan jump shot.
“5-3! Maaf Shooter! And now its
your turn!” kata Kevin.
“Ok! Let see!”
Irene melangkah ke arah kiri,
ketika ia memantulkan bola dari tangan kiri menuju tangan kanan, Kevin dapat
menghalau dengan mudah, sehingga bola terlepas dari Irene.
“Mau crossover lagi? Come on! Uda kebaca!”
Irene tertunduk dan mengatur
napasnya.
“Ya uda deh giliran kamu offense lagi. Nih!” ujar Kevin.
Irene menangkap bola yang dipassing
oleh Kevin. Ia mendrible langsung melewati Kevin dan melakukan jump shot, namun
dengan mudahnya Kevin mampu memblocking tembakan Irene sehingga bola keluar
dari lapangan.
Kevin memberikan bola itu lagi pada
Irene, dan raut cemberut terukir di wajah wanita setinggi 160cm itu.
“Ayo! Kali ini aku nggak bakal biarin kamu
lewatin aku,” ujar Kevin.
Kiri kanan
kiri kanan kiri kanan kiri kanan. Mata Kevin tak luput dari bola yang sedang Irene
drible. Irene melaju ke arah kanan, kemudian memantulkan bola dan melakukan
gerakan memutar ke kiri lalu mengeksekusinya dengan under ring namun lagi-lagi bola itu dengan mudahnya di block oleh
Kevin.
“Oke I
know you’re better than me,” Irene merebahkan dirinya di lantai lapangan
basket.
“Badan
kamu lebih gede dan lebih tinggi dari aku. Apapun gerakan yang aku lakuin pasti
beresiko,” Irene mengatur napasnya.
Kevin
duduk di samping Irene.
“Namanya
aja basket, pasti penuh resiko,” Kevin tersenyum menatap Irene.
“Life
is like basketball, sometimes you must choosing the right way to move, although
it’s full of risks. Mau passing, pasti resikonya kena steal. Mau drible pasti
resikonya crush sama lawan dan bola kena steal. Mau shooting, pasti resikonya
kalau gak kena block ya bola nggak masuk….” Belum sempat kevin melanjutkan
kalimatnya, irene memotongnya.
“Mau diem? Diem malah lebih beresiko, dikepung
lawan and you can’t do anything. It’s the stupid thing,” Irene tertawa.
“Tapi apapun resikonya, kamu bakal ngambil
salah satu diantara gerakan itu. Entah kamu akan passing, drible, shoot, karena
cuma bergeraklah satu-satunya cara yang punya tujuan, point!” jelas Kevin.
“And I will take risks, kalau aku
menang, aku bisa memimpin. Kalau aku kalah, aku bisa belajar,” Irene bangun dan
duduk di lantai.
“Right! If you're not making
mistakes, you're not taking risks, and that means you're not going anywhere.
Aku ngebayangin seberapa banyak resiko yang uda di ambil Michael Jordan hingga
dia bisa sesukses itu,” kata Kevin sambil memandang ring basket.