Wednesday, January 9, 2013

The Sixth Player - Part 1

                “Namanya aja hidup, kalau menang terus mah nggak ada seninya. Justru kekalahan itu ngajarin kamu banyak hal,” kata Kelly.
                “Ya kan aku malu kalau tim aku kalah terus, Kell! Nggak liat apa tadi si Rio yang anak futsal itu nyinyirin aku?” Jawabku lesu.
                “Kalah kok malu! Kevin… Kevin…! Kalau belum apa-apa udah nyerah, baru deh malu sama diri kamu sendiri. Kalau kamu malu karena kamu kalah, potong aja burungmu,” sahutnya sambil diiringi tawa kecil, “lagian anak futsal mah nggak usah di urusin. Tuh anak kalau disuruh main basket pasti malah kagak bisa ngapa-ngapain,” lanjutnya.
                Aku hanya membalasnya dengan senyuman datar.
                “Aku balik ke kelas dulu ya! Kata temenku dosennya uda masuk,” ujar Kelly sambil tetap sibuk menatap layar handphonenya.
                Entah niat apa yang menyelimutiku hingga aku berjalan tanpa sadar menuju lapangan basket. Kubuka pintu arena basket secara perlahan, lalu aku masuk dan mendapati seorang cewek berlatih shooting sendirian.
                Aku melangkah dan duduk di bench sebelah utara sambil menatap cewek yang dengan gigihnya berlatih itu. Shootingnya 80% akurat, namun anehnya, kenapa cewek seperti dia nggak pernah aku liat di tim inti basket putri di kampus?
                Cewek itu memandangku, lalu ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku sambil mengelap keringatnya dengan handuk.
                “Kamu Kevin anak bahasa Inggris itu, ya? Kenalin, aku Irene, anak hukum” ia mengulurkan tangannya dan kami pun bersalaman.
                “Oh, wait. Kok kamu tau nama aku? Tau jurusan aku pula,” kataku heran.
                “Ya taulah, Kev. Dimana-mana anak basket itu famous, jadi nggak usah kaget kalau ada orang asing yang kenal sama kamu.”
                “jangan bikin GR gitu deh, Ren. Kamu kan anak basket juga, tapi kenapa aku nggak pernah liat kamu ya?”
                “Mungkin karena kamu fokus lihat ke lapangan, kamu nggak pernah lihat siapa aja yang duduk di bench.”
                “Maksud kamu?” tanyaku.
                “Aku ini sixth player alias pemain cadangan, jadi maklum kalau kamu nggak pernah liat aku,” jawabnya dengan senyuman.
                “Cewek sehebat kamu duduk di bangku cadangan? Kayaknya coach harus tau deh kalau dia punya pemain emas seperti kamu. Memangnya kamu nggak pernah komplain sama coach?”
                “Iya, di bangku cadangan, masa di bangku kuliah mulu. Komplain? Terus aku harus bilang ‘coach aku ini hebat loh coach, plis coach mainin aku’ gitu?”
                “Ya, nggak gitu juga sih. Tapi seenggaknya kamu bilang  ke mereka kalau kamu ini pantas jadi pemain inti.”
                “Well, sebelum aku nunjukkin ke orang lain kalau aku hebat, aku harus nunjukkin sehebat apa aku ini pada diriku sendiri. Dan selain hard work, menjadi pemain inti atau enggak adalah persoalan waktu. All I can do is waiting for the right time, kalau waktunya tepat pas coach mainin aku di lapangan, saat itulah aku nunjukkin kehebatanku,” pungkasnya. Ia pun mengenakan jaket berwarna merah yang ia ambil dari dalam tasnya.
                “Aku harap secepatnya aku bisa ngeliat kamu di lapangan,” aku tersenyum memandangnya.
                “Dan aku harap kamu juga jangan lupa liat para pemain yang duduk di bench. Pemain terhebat di  5 tahun yang akan datang, mungkin sekarang lagi menikmati masa down-nya duduk di bangku cadangan. God knows,” ujarnya.

4 comments: