“Namanya
aja hidup, kalau menang terus mah nggak ada seninya. Justru kekalahan itu
ngajarin kamu banyak hal,” kata Kelly.
“Ya kan
aku malu kalau tim aku kalah terus, Kell! Nggak liat apa tadi si Rio yang anak
futsal itu nyinyirin aku?” Jawabku lesu.
“Kalah
kok malu! Kevin… Kevin…! Kalau belum apa-apa udah nyerah, baru deh malu sama
diri kamu sendiri. Kalau kamu malu karena kamu kalah, potong aja burungmu,”
sahutnya sambil diiringi tawa kecil, “lagian anak futsal mah nggak usah di
urusin. Tuh anak kalau disuruh main basket pasti malah kagak bisa
ngapa-ngapain,” lanjutnya.
Aku
hanya membalasnya dengan senyuman datar.
“Aku
balik ke kelas dulu ya! Kata temenku dosennya uda masuk,” ujar Kelly sambil
tetap sibuk menatap layar handphonenya.
Entah niat
apa yang menyelimutiku hingga aku berjalan tanpa sadar menuju lapangan basket.
Kubuka pintu arena basket secara perlahan, lalu aku masuk dan mendapati seorang
cewek berlatih shooting sendirian.
Aku
melangkah dan duduk di bench sebelah utara sambil menatap cewek yang dengan
gigihnya berlatih itu. Shootingnya 80% akurat, namun anehnya, kenapa cewek
seperti dia nggak pernah aku liat di tim inti basket putri di kampus?
Cewek
itu memandangku, lalu ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku sambil
mengelap keringatnya dengan handuk.
“Kamu
Kevin anak bahasa Inggris itu, ya? Kenalin, aku Irene, anak hukum” ia
mengulurkan tangannya dan kami pun bersalaman.
“Oh,
wait. Kok kamu tau nama aku? Tau jurusan aku pula,” kataku heran.
“Ya
taulah, Kev. Dimana-mana anak basket itu famous, jadi nggak usah kaget kalau
ada orang asing yang kenal sama kamu.”
“jangan
bikin GR gitu deh, Ren. Kamu kan anak basket juga, tapi kenapa aku nggak pernah
liat kamu ya?”
“Mungkin
karena kamu fokus lihat ke lapangan, kamu nggak pernah lihat siapa aja yang
duduk di bench.”
“Maksud
kamu?” tanyaku.
“Aku
ini sixth player alias pemain cadangan, jadi maklum kalau kamu nggak pernah
liat aku,” jawabnya dengan senyuman.
“Cewek
sehebat kamu duduk di bangku cadangan? Kayaknya coach harus tau deh kalau dia
punya pemain emas seperti kamu. Memangnya kamu nggak pernah komplain sama
coach?”
“Iya,
di bangku cadangan, masa di bangku kuliah mulu. Komplain? Terus aku harus
bilang ‘coach aku ini hebat loh coach,
plis coach mainin aku’ gitu?”
“Ya,
nggak gitu juga sih. Tapi seenggaknya kamu bilang ke mereka kalau kamu ini pantas jadi pemain
inti.”
“Well,
sebelum aku nunjukkin ke orang lain kalau aku hebat, aku harus nunjukkin
sehebat apa aku ini pada diriku sendiri. Dan selain hard work, menjadi pemain
inti atau enggak adalah persoalan waktu. All I can do is waiting for the right
time, kalau waktunya tepat pas coach mainin aku di lapangan, saat itulah aku
nunjukkin kehebatanku,” pungkasnya. Ia pun mengenakan jaket berwarna merah yang
ia ambil dari dalam tasnya.
“Aku
harap secepatnya aku bisa ngeliat kamu di lapangan,” aku tersenyum
memandangnya.
“Dan aku
harap kamu juga jangan lupa liat para pemain yang duduk di bench. Pemain terhebat
di 5 tahun yang akan datang, mungkin
sekarang lagi menikmati masa down-nya
duduk di bangku cadangan. God knows,” ujarnya.
open my mind :')
ReplyDeleteKeren kak (y)
ReplyDeletewow...Nice Story
ReplyDeletewow keren :D
ReplyDelete