Monday, January 21, 2013

The Sixth Player - Part 2


“Bener kan yang aku bilang? Pemain seperti kamu itu nggak pantes duduk di bangku cadangan,” kata Kevin pada Irene yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Irene menutup laptopnya dan memandang Kevin, “Thanks!”
Sebuah senyuman manis itu tertuju pada pria di depannya, Kevin.
“Cuma thanks doang?”
“Kalau ada kata yang lebih baik dari ‘terima kasih’ pasti bakal aku ucapin.”
“Okelah, kalau gitu. Sama-sama!” Kevin pun duduk tepat di depan Irene.
“Tapi sorry aku harus pergi dulu, ya!” kata Irene tergesa.
“Aku baru aja duduk, kamu malah pergi. Mau kemana sih?”
“Mau ikut?”
Kevin mengangguk.
“Beginilah aku, setiap ada jam kuliah yang kosong, pasti latian shooting,” kata Irene sambil melepas jaketnya.
“Latian sendirian?” tanya Kevin.
“Iyalah, masa latihan basket sama dosen.”
Irene mulai membuka kunci ruang tempat penyimpanan bola. Ia memasukki ruangan itu dan kembali dengan membawa 4 bola di tangannya sedangkan sisanya lagi menggelinding tak karuan.
Ia pun mulai menata bola secara acak. Ada yang ia taruh di bawah ring, di daerah free throw, ada yang ia taruh di sudut lapangan, ada juga beberapa yang ia taruh di luar zona three point.
Irene melakukan pemanasan. Kemudian memulai untuk melakukan shot. Menunduk mengambil bola, drible, shooting. Drible lagi, shooting. Drible, shooting. Begitu seterusnya. Dari 50 tembakan yang ia lakukan, ada 40 bola yang melesat tepat ke ring.
                “Wait! Ini nggak seru. Kamu shooting tapi nggak ada yang jaga, sama kayak… kayak apa ya? Ah, lupain. Sini aku yang jaga, kamu yang offense,” sahut Kevin yang kemudian berjalan ke arah Irene.
                “Jadi ceritanya aku lagi duel sama kapten basket cowok? Fine! Tapi awas kalau senggol-senggol!” Irene pun melakukan check ball.
                Kevin mengumpan balik bola basket pada Irene dan berkata, “Ren, kamu itu nggak ada semoknya. Kalau nyenggol kamu juga rugi,” Kevin pun tertawa.
                “SLEBBBBB!!”  bola basket masuk ring dengan mulusnya.
                “Maaf kapten, tapi skor kita 3-0,” Irene tersenyum sinis.
                “Tapi kan belum di…”
                “Kapten, it’s your turn. Jangan cerewet yah, tar gampang capek loh,” kata Irene sambil memberikan bola pada Kevin. Giliran Kevin yang melakukan offense.
                “Oh jadi gitu ya cara main kamu shooter manis? Coba lihat ini,” Kevin menembak dari garis 3 point, namun sayangnya air ball, bola sama sekali tak menyentuh papan maupun ring.
                “Ups! Kok tembakan kamu nggak masuk? Bolanya yang kurang keras atau ringnya yang kurang maju yah?” ejek Irene.
                “Iya iya iya! Sekarang giliran kamu!” sahut Kevin kesal.
                Irene memegang bola. Sejenak ia memikirkan cara untuk melewati pria besar di depannya. Ia mendrible dan melangkah ke arah kiri, namun dengan cepatnya ia mengarahkan bola dan melaju ke kanan, begitu mudahnya ia melewati Kevin. Tanpa ragu ia mengeksekusi bola dengan lay-up dan bola pun masuk.
                “Maaf kapten, 5-0!” Irene tertawa kecil.
                “Santai aja, bakal aku bales kok. Giliran aku yang offense, sini bolanya!” pinta Kevin.
                “KEVIIIIIIN!” teriak Kelly sambil terengah-engah mengatur napasnya.
                Kevin menoleh kearah Kelly dan “BRAKKK!!!” bola basket yang di passing oleh Irene mengenai wajahnya. Kevin terlihat kelimpungan.
                “Maaf kapten. Maaf! Are you ok?” kata Irene panik.
                Kevin menatap Irene dan terlihat darah mengalir dari hidungnya.
                Kelly membantu Kevin berjalan duduk di bench. Beruntung Irene membawa tissu, sehingga darah itu bisa ia bersihkan
“Kalau kamu tadi nggak noleh pasti nggak bakal kayak gini. Sorry, Kev!” Irene membersihkan sisa-sisa darah di sela-sela jemari Kevin.
“Ehem.. Sorry ya ganggu. Aku kesini mau ngasih flashdisk ini Kev, besok giliranmu presentasi. Ya udah lanjutin lagi mainnya, soalnya aku uda pesen makan di kantin. Daaaaa..” Kelly mengedipkan matanya pada Kevin lalu beranjak pergi.
“Kita lanjut main yuk?” Kevin berjalan mengambil bola.
“Tapi kan hidung kamu…”
“Ah.. udahlah. Aku ini anak basket, bukan boyband. Keadaaan kayak gimanapun kudu tetep main, apalagi main sama kamu. Aku harus menang pokoknya. Harga diri dipertaruhkan!”
“Ciee pake bawa harga diri segala!”
“Can I start now?”
“Sure!”
Kevin mendrible bola ke arah kanan dengan kecepatan penuh, kemudian berhenti tiba-tiba dan mengayunkan bola dari tangan kanan, bola terpantul di belakang badannya atau biasa di sebut behind the back, lalu bola mendarat di tangan kirinya dan melakukan jump shot.
“5-3! Maaf Shooter! And now its your turn!” kata Kevin.
“Ok! Let see!”
Irene melangkah ke arah kiri, ketika ia memantulkan bola dari tangan kiri menuju tangan kanan, Kevin dapat menghalau dengan mudah, sehingga bola terlepas dari Irene.
“Mau crossover lagi? Come on! Uda kebaca!”
Irene tertunduk dan mengatur napasnya.
“Ya uda deh giliran kamu offense lagi. Nih!” ujar Kevin.
Irene menangkap bola yang dipassing oleh Kevin. Ia mendrible langsung melewati Kevin dan melakukan jump shot, namun dengan mudahnya Kevin mampu memblocking tembakan Irene sehingga bola keluar dari lapangan.
Kevin memberikan bola itu lagi pada Irene, dan raut cemberut terukir di wajah wanita setinggi 160cm itu.
                 “Ayo! Kali ini aku nggak bakal biarin kamu lewatin aku,” ujar Kevin.
                Kiri kanan kiri kanan kiri kanan kiri kanan. Mata Kevin tak luput dari bola yang sedang Irene drible. Irene melaju ke arah kanan, kemudian memantulkan bola dan melakukan gerakan memutar ke kiri lalu mengeksekusinya dengan under ring namun lagi-lagi bola itu dengan mudahnya di block oleh Kevin.
                “Oke I know you’re better than me,” Irene merebahkan dirinya di lantai lapangan basket.
                “Badan kamu lebih gede dan lebih tinggi dari aku. Apapun gerakan yang aku lakuin pasti beresiko,” Irene mengatur napasnya.
                Kevin duduk di samping Irene.
                “Namanya aja basket, pasti penuh resiko,” Kevin tersenyum menatap Irene.
                “Life is like basketball, sometimes you must choosing the right way to move, although it’s full of risks. Mau passing, pasti resikonya kena steal. Mau drible pasti resikonya crush sama lawan dan bola kena steal. Mau shooting, pasti resikonya kalau gak kena block ya bola nggak masuk….” Belum sempat kevin melanjutkan kalimatnya, irene memotongnya.
 “Mau diem? Diem malah lebih beresiko, dikepung lawan and you can’t do anything. It’s the stupid thing,” Irene tertawa.
“Tapi apapun resikonya, kamu bakal ngambil salah satu diantara gerakan itu. Entah kamu akan passing, drible, shoot, karena cuma bergeraklah satu-satunya cara yang punya tujuan, point!” jelas Kevin.
“And I will take risks, kalau aku menang, aku bisa memimpin. Kalau aku kalah, aku bisa belajar,” Irene bangun dan duduk di lantai.
“Right! If you're not making mistakes, you're not taking risks, and that means you're not going anywhere. Aku ngebayangin seberapa banyak resiko yang uda di ambil Michael Jordan hingga dia bisa sesukses itu,” kata Kevin sambil memandang ring basket.

1 comment: