Saturday, June 7, 2014

Suatu Hari Di Pulau Bawean


Pada hari Kamis, tepatnya pada tangga 15 Mei, saya dan beberapa kawanan paus biru, badak, dan anjing laut akan berlibur ke Pulau yang berada di sebelah utara Jawa Timur, yakni Pulau Bawean. Pada pukul 8 pagi, kami sudah berkumpul di pelabuhan Gresik untuk menuju ke Pulau Bawean dengan menaiki kapal. Perjalanan selama 4 jam kami tempuh, seharusnya 3 jam, namun gelombang laut Jawa yang agak sensi memperlambat waktu tujuan kami.

Yap, kami serombongan telah sampai ke Pulau Bawean, atau yang biasa disebut dengan Pulau Putri. Saat di pelabuhan Bawean saja mata saya sudah terbelalak karena air lautnya yang biru, dan Pulau Bawean yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Salah kostum ini sih, hawa di Pulau Bawean ternyata lumayan dingin karena pengaruh sejuknya bukit-bukit yang rindang dan masih asri. Padahal ngiranya disini hawanya bakal panas banget, eh ternyata salah.

Di Pulau Bawean, kami menginap di rumah kak Gasa. Sajian makanannya enak banget, dari ikan bakar, kepiting, olahan ikan, bahkan sambel terasinya membuat saya selalu nambah. Untuk orang yang doyan makan seperti saya, Bawean adalah destinasi wisata yang membuat saya tak perlu khawatir akan urusan perut!

Setelah makan siang, kami menuju pelabuhan untuk menunggu klothok (perahu kecil yang digunakan nelayan melaut, bisa menampung 20-an orang). Perjalanan di atas klothok kami gunakan untuk memotret pemandang di sekamir pulau yang mahadewi ini. Fyi, di Bawean saya jarang selfie, soalnya masih terpesona sama keindahan alam disini, mendingan motret pemandangan daripada selfie, because selfie is for the weak. PrĂȘt.
Kami tidak bisa menuju ke Pulau Selayar karena air laut terlalu dangkal, sedangkan untuk berjalan ke pulau Selayar pun terlalu jauh. Maka kami skip tujuan kami, lalu kami menuju Pulau Noko Selayar. Pulau Noko Selayar adalah Pulau kecil yang hanya terdiri dari hamparan pasir putih yang berada di dekat Pulau Selayar. Maka disini, setelah kami puas memotret keindahan Pulau Noko Selayar, mari berfoto!


Maunya sih nunggu sunset, apalah daya mendung. Tapi untungnya, kami disambut oleh pelangi di suatu sudut laut Jawa. Uapik tenan!




Sudah-sudah. Waktunya pulang.

Di hari kedua kami di Pulau Bawean, kami harus bangun pagi untuk mengejar sunrise di Jherat Lanjheng. Btw selama disini, kami selalu memakai sepeda motor karena hanya alat transportasi inilah yang bisa mengantarkan kami menembus jalanan sempit yang menanjak dan berlumpur.
Lagi-lagi kami disambut oleh pagi yang mendung. Meski mendung, langitnya tetap apik! Komposisi warna kuning dan kumpulan awan tak henti-hentinya membuat saya memuji pulau ini.



Setelah dari Jherat Lanjheng, kami kembali ke penginapan untuk sarapan sebelum meneruskan perjalanan menuju Air Terjun Laccar. Kak Gasa mengingatkan kami untuk makan dengan lahap, karena perjalanan menuju Air Terjun Laccar sangat menguras energy. Tenang aja kak, gak perlu diingatkan buat makan banyak juga saya tetep aja makan mulu.

Memang benar sih, jalan di Air Terjun Laccar sangat terjal, batu-batuan licin berulang kali membuat kami harus waspada dalam melangkah. Tapi semuanya terbayar dengan keindahan Air Terjun ini.



Perjalanan selanjutnya ialah menuju Tanjung Ghe’eng. Ini adalah tempat favorit saya. Kami menaiki Klothok dan menuju pantai di sebelah Tanjung Ghe’eng. Berasa pantai privat, gak ada orang sama sekali. Etapi sepertinya semua pantai disini juga gak ada orangnya, mau selfie mau wefie mau galau juga asik.



Ok lanjut ke Tanjung Ghe’eng, teman saya, Sandi dan Arif akan melakukan atraksi melompat dari ketinggian 10 meter. Saya sih gak ikutan lompat, tar malah tsunami.






Kemudian kami menyempatkan diri menuju Desa Dekat Agung. Sunsetnya dewa!

Tibalah hari ketiga di Pulau Bawean. Tujuan kami hari ini adalah menuju ke Danau Kastoba dan Pulau Gili. Danau Kastoba kami tempuh dengan 1 jam mengendarai motor, dan yang paling ngenes adalah jalan kaki setapak menuju Danau. Yaealah, kayak jalan menuju pelaminan, naik turun. Untuk gajah Zimbabwe seperti saya, jalan ke Danau Kastoba ini bikin badan saya turun 2kilo.


Gak berani berenang disini sih, agak mistis gimana gitu. Dan katanya danau ini terbentuk dari sumber air yang gak pernah abis dan yang bukan orang Bawean gak boleh berenang disini. Katanya lho, katanya.
Abis dari Danau Kastoba, kami menuju ke lapangan terbang Bawean yang dari zaman saya jelek, jadi cakep, trus jelek lagi eh lapangan terbang ini pun belum juga bisa beroperasi.


Sudah sore, tibalah saatnya menyebrang ke Pulau Gili karena mala mini kami akan menginap di rumah warga. Baru tiba di Pulau Gili, kami disambut puluhan anak kecil. Bayangin cobak gimana serunya keliling Pulau Gili ditemani oleh anak kecil yang super duper rame. Sumpah, ini yang bikin kangen!
Selama di Pulau Gili, kami di temani oleh Kak Tika, pengajar muda alumni UI yang ditugaskan di Pulau Gili, Bawean. Kami diajak berkeliling ke bukit untuk melihat Pulau Noko Gili dari atas.


Ini waktu yang saya nanti, yakni ke Pulau Noko Gili. Untuk menuju pulau ini kami gak perlu naik perahu, cukup menunggu sore hari ketika air surut, lalu kami bisa berjalan kaki diatas hamparan pasir putih menuju Noko Gili. Berasa seperti di Jeju Island.

Tiba saatnya kembali ke rumah warga, kami menginap di rumah warga. Dan dengan antusiasnya warga mengajak kami untuk berpesta bakar ikan. Huwow! Saya selalu suka makan-makan! Oh iya, disini listriknya hanya menyala pada jam 6 sampai jam 10 malam. Pada jam segitu, kami memanfaatkan waktu buat ngecharge segala gadget.

Setelah makan-makan, tepat jam 11 malam kami berkeliling pulau untuk motret stratrail atau milky way. tapi sayang, lagi-lagi mendung. Jadi kami kembali ke rumah pada jam 12 malam.

Esok harinya, yakni hari keempat kami di Pulau Gili, kami harus kembali ke Pulau Bawean karena hari ini kami harus pulang. Sedih. Sedih sekali. Rasanya empat hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk singgah di Pulau ini. Semoga suatu saat saya kembali lagi disini. Semoga. 

Sunday, March 2, 2014

Pelajaran Pertama

                Latihan pertama tidaklah selalu mudah. Di lapangan basket hari ini, hampir semuanya memandang ke bawah, sambil menggerakkan kaki mereka, namun angan mereka berkelana memikirkan siapa nantinya yang akan menjadi yang terhebat, dan siapa yang nantinya akan duduk di bangku cadangan. Lalu sesekali anak-anak baru itu melihat sekeliling, menghafal wajah teman yang baru mereka kenal, teman yang nantinya akan menjadi kawan, atau bisa saja diam-diam menjadi lawan. Yang mereka tahu hanyalah; dunia ini keras, mereka tidak hanya bersaing dengan orang-orang di sekitar mereka, bahkan persaingan dipersempit, yakni dengan diri mereka sendiri.
                Coach Nate berdiri di hadapan puluhan murid baru, “Siapa yang ingin menembak tiga angka terlebih dahulu?”
                Tak ada yang menawarkan diri.
                “Tak ada yang mau?”
“Hei, Kamu! Kemarilah! Siapa namamu?” tunjuk Coach Nate pada seorang murid berbadan besar yang berdiri di barisan akhir.
                “Kenneth, Coach!” ia berjalan ke samping Coach Nate.
                “Baiklah, sekarang tembak bola ini dari garis three point,” Coach Nate memberikan bola pada Kenneth.
                “Tapi aku bukan shooter.”
                “Mulai sekarang kau adalah shooter.”
                “Tapi aku tak pernah menembak sejauh ini,” eluh Kenneth.
                “Maka tembaklah!”
                “Aku tidak bisa, Coach. Terakhir kali pelatihku dulu berkata bahwa aku tak akan bisa menembak, aku tak ada nilainya jika berada disini, tempatku di bawah ring. Aku center.”
                Coach Nate mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya dan mengangkatnya ke atas.
                “Siapa yang menginginkan uang ini?” tanya Coach Nate.
                Semua murid murid mengangkat tangannya.
                “Sebelum saya memberikan uang ini pada salah satu diantara kalian, saya ingin melakukan sesuatu.”
                Dia meremas-remas selembar uang itu dan berkata, “Siapa yang menginginkan uang ini?”
                Tangan-tangan kembali teracung.
                “Dan bagaimana jika saya melakukan ini?”
                Coach Nate melempar uang yang sudah kucal tersebut ke lantai, dan setelah uang itu jatuh, ia menginjak-injaknya, kemudian sekali lagi Coach Nate menunjukkan kepada calon pemainnya bahwa uang itu benar-benar kucal dan kotor. Dia mengajukan pertanyaan yang sama, pertanyaan tentang siapa yang menginginkan uang tersebut dan beberapa diantara mereka tetap mengangkat tangannya.
                “Jangan pernah melupakan pelajaran hari ini,” kata Coach Nate. “Tidak masalah apapun yang terjadi pada uang ini. Ini tetaplah selembar uang seratus ribu,” ia memandangi semua yang ada di lapangan,”dalam hidup kita, seringkali kita dibuat kucal, diinjak-injak, diperlakukan dengan buruk, atau bahkan dihina mentah-mentah. Akan tetapi, meski mengalami semua yang pahit itu, nilai kita tidak akan berubah.”
                “Dan kamu, Kenoy.”
                “Namaku Kenneth, Coach.”
                “Oh. Ya Kenneth. Jangan pernah merasa lagi bahwa kau tak ada nilainya. Jika kau merasa seperti itu lagi, ikutlah les menari, jangan disini. Tidak ada tempat sedikitpun bagi pecundang disini. Mengerti?”
                Kenneth mengangguk.



Inspired by Paulo Coelho's Book; Like The Flowing River

Wednesday, February 26, 2014

Proses Seumur Hidup

Di suatu sore yang cerah di lapangan basket yang tak jauh dari rumahnya, dengan senang hati, Kenneth mengikat tali sepatunya dan bersiap mendapatkan latihan shoot dari ayahnya. Kenneth sangat antusias dengan latihannya, ia ingin suatu saat bisa sehebat Kobe Bryant. Namun ayahnya malah memberikan bola basket yang kempes yang bahkan tidak bisa di-dribel.
Kenneth mengingatkan ayahnya bahwa ia masih berumur 12 dan bertanya kenapa ayahnya mulai mengajarkan dia seolah-olah Kenneth adalah pemain professional. Ayah menjawab, “Kalau dimulai dengan hal yang gampang-gampang saja, kamu tidak akan siap untuk tantangan-tantangan yang besar. Yang terbaik adalah jika langsung mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang kira-kira akan kamu temui di jalan.”
Lama sekali Kenneth tidak bisa menembak bola basket dengan semestinya, sampai beberapa hari kemudian, ayahnya mengajari fundamental, hal-hal dasar tentang bagaimana posisi badan saat bersiap untuk menembak bola. Dan tiba-tiba semuanya menjadi mudah.
Kenneth bertanya-tanya akan mengapa ayahnya menunggu lama sekali sebelum membetulkan cara Kenneth menembak. Ayah tersenyum dan berkata, “Kalau sejak awal kamu sudah kuajari bagaimana cara menembak yang betul, kau akan menganggap latihan itu tidak penting. Sekarang kamu akan percaya ucapan ayah dan berlatih dengan sungguh-sungguh. Begitulah guru-guru yang baik mengajari muridnya.”
Melepaskan tembakan kearah ring terjadi secara naluriah, tapi mulanya kita harus mengenal tekniknya, pernapasan, insting dan sasaran lingkaran secara mendalam, lalu dengan berjuta kali pengulangan bisa membuat gerakan yang sempurna.
Hal yang terlihat mudah tak selalu mudah jika ingin benar-benar kita kuasai sepenuhnya. Beberapa kali ayah meyakinkan Kenneth bahwa sehari, dua hari, 6 bulan atau 2 tahun tidaklah cukup untuk memoles kemampuannya. Dan meski 10 tahun mendatang, di suatu malam  di ruang televisi, saat sang ayah menonton Kenneth muncul di kotak ajaib sebagai pemain profesional; setelah pertandingan besar itu selesai, Kenneth akan tetap berlatih memperbaiki tembakannya. Sebab ia tahu, belajar ialah proses seumur hidup.


Inspired by the short story in the Paulo Coelho's book; Like The Flowing River.