Sunday, March 2, 2014

Pelajaran Pertama

                Latihan pertama tidaklah selalu mudah. Di lapangan basket hari ini, hampir semuanya memandang ke bawah, sambil menggerakkan kaki mereka, namun angan mereka berkelana memikirkan siapa nantinya yang akan menjadi yang terhebat, dan siapa yang nantinya akan duduk di bangku cadangan. Lalu sesekali anak-anak baru itu melihat sekeliling, menghafal wajah teman yang baru mereka kenal, teman yang nantinya akan menjadi kawan, atau bisa saja diam-diam menjadi lawan. Yang mereka tahu hanyalah; dunia ini keras, mereka tidak hanya bersaing dengan orang-orang di sekitar mereka, bahkan persaingan dipersempit, yakni dengan diri mereka sendiri.
                Coach Nate berdiri di hadapan puluhan murid baru, “Siapa yang ingin menembak tiga angka terlebih dahulu?”
                Tak ada yang menawarkan diri.
                “Tak ada yang mau?”
“Hei, Kamu! Kemarilah! Siapa namamu?” tunjuk Coach Nate pada seorang murid berbadan besar yang berdiri di barisan akhir.
                “Kenneth, Coach!” ia berjalan ke samping Coach Nate.
                “Baiklah, sekarang tembak bola ini dari garis three point,” Coach Nate memberikan bola pada Kenneth.
                “Tapi aku bukan shooter.”
                “Mulai sekarang kau adalah shooter.”
                “Tapi aku tak pernah menembak sejauh ini,” eluh Kenneth.
                “Maka tembaklah!”
                “Aku tidak bisa, Coach. Terakhir kali pelatihku dulu berkata bahwa aku tak akan bisa menembak, aku tak ada nilainya jika berada disini, tempatku di bawah ring. Aku center.”
                Coach Nate mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari sakunya dan mengangkatnya ke atas.
                “Siapa yang menginginkan uang ini?” tanya Coach Nate.
                Semua murid murid mengangkat tangannya.
                “Sebelum saya memberikan uang ini pada salah satu diantara kalian, saya ingin melakukan sesuatu.”
                Dia meremas-remas selembar uang itu dan berkata, “Siapa yang menginginkan uang ini?”
                Tangan-tangan kembali teracung.
                “Dan bagaimana jika saya melakukan ini?”
                Coach Nate melempar uang yang sudah kucal tersebut ke lantai, dan setelah uang itu jatuh, ia menginjak-injaknya, kemudian sekali lagi Coach Nate menunjukkan kepada calon pemainnya bahwa uang itu benar-benar kucal dan kotor. Dia mengajukan pertanyaan yang sama, pertanyaan tentang siapa yang menginginkan uang tersebut dan beberapa diantara mereka tetap mengangkat tangannya.
                “Jangan pernah melupakan pelajaran hari ini,” kata Coach Nate. “Tidak masalah apapun yang terjadi pada uang ini. Ini tetaplah selembar uang seratus ribu,” ia memandangi semua yang ada di lapangan,”dalam hidup kita, seringkali kita dibuat kucal, diinjak-injak, diperlakukan dengan buruk, atau bahkan dihina mentah-mentah. Akan tetapi, meski mengalami semua yang pahit itu, nilai kita tidak akan berubah.”
                “Dan kamu, Kenoy.”
                “Namaku Kenneth, Coach.”
                “Oh. Ya Kenneth. Jangan pernah merasa lagi bahwa kau tak ada nilainya. Jika kau merasa seperti itu lagi, ikutlah les menari, jangan disini. Tidak ada tempat sedikitpun bagi pecundang disini. Mengerti?”
                Kenneth mengangguk.



Inspired by Paulo Coelho's Book; Like The Flowing River

No comments:

Post a Comment