Wednesday, November 6, 2013

Basketball Practice



Latihan adalah hal yang paling penting, penting dan penting dalam bermain basket. Tapi yang terpenting adalah bagaimana caranya berlatih dengan pintar. Maksudnya, jangan cuma bawa otot sama hp doang, dibawa juga otaknya. Nah lalu apa gunanya latihan? Jelas untuk melatih dan mengasah apa yang kurang dari diri kamu dan mempertajam apa yang sudah bagus. Latihan rutin bukan untuk membuat dirimu hebat, tapi latihan yang bagus itu membuat tim kamu tak terkalahkan. Singkirkan keinginan dan keegoisan individu, pemain yang baik punya target lebih luas dari dirinya sendiri, yakni tim.
Sebuah tim yang latihannya seminggu dua kali jelas bakal kalah sama tim yang latihannya setiap hari. Jadi, jika dalam seminggu berlatih dua kali, dan dalam sekali latihan itu dua jam, maka dalam setahun, total latihannya adalah 192 jam. Akan tetapi, jika berlatih setiap hari, dan setaip berlatih itu durasinya dua jam, maka dalam setahun total latihannya 672 jam.
Lupakan tentang tipe latihannya bagaimana, anggap saja tim yang berlatih seminggu dua kali dan tim yang berlatih setiap hari punya tipe latihan yang sama bagusnya, karena disini aku ngomongin tentang durasi.
Balik lagi ke total waktu latihan dalam setahun lagi, 192 jam dan 672 jam, bisa keliatan mana yang menang kan? Ya jelas 672 jam. Oke mungkin 192 jam bisa menang kalau mereka mengontrak Kobe dan LeBron. Akupun pernah baca buku The Outliers, disitu tertulis bahwa seorang atlit bakal jago kalau uda berlatih selama 10.000 jam. Sekali lagi, 10.000 jam! Jadi kalau pengen bener-bener jago dan menguasai, butuh waktu 14 tahun dengan latihan selama dua jam sehari, secara konsisten setiap hari!
Hal lain yang tak kalah penting adalah prioritas berlatih. Bagaimanapun juga, latihan itu harus terfokus, sama kayak apa kata pepatah, “Kalau kamu ngejar dua ekor kelinci, keduanya bakal hilang.” Nah trus apa yang kudu dilakuin? Kamu harus bisa ngebawa diri pada titik dimana kamu bisa mengelola prioritas kamu, mengelola dan memfokuskan mana yang lebih penting, atau mana yang kurang penting seperti yang tertulis di  bukunya Maxwell;

Gunakan 80% waktumu untuk bekerja di titik kekuatanmu.
Gunakan 15% waktumu untuk bekerja di titik yang kamu pelajari.
Gunakan 5% waktumu untuk bekerja di titik lainnya.

Kenapa harus begitu?

      Karena kebanyakan dari kita menjalai latihan yang sibuk namun tidak disiplin. Kita memiliki banyak sekali daftar tentang hal apa yang harus dilatih dan diasah. Daftar ini terus bertambah banyak isinya dan kita terus membangun momentum dengan cara berlatih, berlatih, dan berlatih. Maka ketahuilah hal mana yang menjadi titik kekuatanmu dan hal mana yang kamu pelajari, itu bakal lebih efektif.

"I fear not the man who has practiced 10.000 shots once, but I fear the man who has practiced one shot 10.000 times."

Thursday, September 19, 2013

A Whistle

“Oke, guys! Aku disini mau mempromosikan ekskul basket. Buat anak cowok yang mau daftar ikut ekskul basket, silahkan ke kak Rere,” kata Rose sambil memperkenalkan Rere yang berada disampingnya, “buat anak cewek yang mau daftar juga, bisa langsung aku catat namanya sekarang,” lanjutnya.
             Rose mulai merapikan lembaran kertas dan siap untuk mencatat. Namun justru beberapa cowok malah berbaris rapi di depannya.
            “Yang cowok silakan daftarin namanya ke kak Rere, Ok?” kata Rose sambil menunjuk Rere.
            “Kok diem aja sih? Yang cowok daftarin ke kak Rere disana! Is that clear?” ujar Rose dengan nada lebih keras.
            “Kami maunya daftar di kak Rose aja,” kata cowok sipit yang berjambul.
            “Oke, oke. Kalau gitu yang cewek silakan daftar di kak Rere. Biar yang cowok daftar di aku aja,” kata Rose pasrah.
            “Nama kamu?” Rose bersiap mencatat, tapi seseorang di depannya tak menjawab.
Rose yang semula menatap lembaran akhirnya mengangkat kepalanya dan  menatap cowok sipit yang berdiri di depannya.
            “Hey, nama kamu?” ujar Rose.
            Ia tersenyum menatap Rose, “Kenneth, Kak!”
            Rose menulis namanya, dan bertanya lagi, “Nama panjangmu?”
            Dia memberikan sebuah kertas pada Rose yang bertuliskan, “Boleh minta pin BB-nya?
            “Sorry, pin BB itu privasi,” jawab Rose ketus.
            “Tapi kak…”
            “Silakan minggir, biar aku nyatet temen kamu yang lain.”
            “Kita man to man aja!” tawar Kenneth.
“Ogah!”
“ Kalau kakak kalah, kakak bakal ngasih pin bbnya ke aku.”
Rose terdiam memandang Kenneth.
“Gimana? Mau kan? Pasti mau ah,” paksa Kenneth.
            “Tapi kalau kamu kalah, tolong perbaiki sikap kamu!”
            “Ok! Bisa diatur!” Kenneth mengangguk.
            “Ok. Deal! Tapi tunggu aku selesai nyatet nama temen kamu yang mau ikut basket dulu,” jawab Rose enteng.
            Setelah pekerjaannya selesai, Rose berjalan keluar kelas dan mengambil jersey basket yang berada di loker. Untungnya, tiap sekolah ia selalu memakai sepatu basket yang bertipe low, jadi cukup dengan sepatu ini, cewek manis itu akan melawan adek kelasnya.
            Para murid kelas X-1 datang untuk menyaksikan pertandingan yang agak kurang penting itu. Mereka ingin tahu siapa yang akan memenangkan pertandingan ini, teman sekelas mereka, Kenneth, atau kakak kelas mereka, Rose.
Ditengah keramaian itu Rose mendekati Kenneth dan berkata, “Well, peraturannya, yang pertama jangan nyuri kesempatan buat nyentuh-nyentuh aku. Kedua, pemain yang lebih dulu masukin bola 3 kali, dia yang menang. Dan ketiga, sebagai cowok, kamu harus ngalah dan ngebiarin aku memulai offense duluan. Setuju?”
            “Setuju!  Tapi mending kak Rose nyerah aja deh,” Kenneth tertawa kecil.
            “Just shut up! And let see! Tapi, check ball dulu,” Rose memberikan bola pada Kenneth dan ia mengumpan balik bola basket itu pada Rose.
            “Kayaknya kakak nggak bakal bisa offense ngelewatin aku,” Kenneth menyombong sambil membenarkan kerah seragamnya.
            “SLEBBBBB!!” tembakan 3 point Rose pun masuk.
            Kenneth memandang bola yang dengan mulusnya masuk ke ring, lalu ia kembali memandang Rose.
            “Satu kosong! Mungkin aku nggak bisa ngelewatin kamu, tapi bola ini bisa,” kata Rose tersenyum.
            “Oh gitu! Oke sekarang giliran aku!” Kenneth menghela napas.
Ia mulai mendribel bola.
“Lihat ini!” Kenneth menembak bola namun sayangnya bola itu hanya membentur sisi kanan ring basket dan memantul ke luar.
Rose  tertawa kecil.
            “Duh, dek. Masukin bola aja nggak bisa, apalagi masuk ke pelaminan?” tawa Rose meledak.
            Kenneth hanya menggaruk-garuk kepalanya karena kesal dengan kegagalannnya.
“Sekarang aku yang offense. Tolong dijaga dengan ketat ya adik kelas yang ngeselin,” balas Rose.
Rose mendribel bola ke arah kiri. Kenneth mengikuti gerakan Rose dan menjaganya dengan baik. Rose berganti arah, ia mendribel bola ke sisi kanan. Kenneth mampu mengikuti dengan seksama. Rose kembali lagi ke sisi kiri lalu melakukan crossover ke kanan dan lay-up.
 Bola masuk! Kedudukan 2-0!
“Nih, giliran kamu! Bolanya jangan disia-siain. Inget ya, ini bola, bukan mantan kamu,” kata Rose sambil mengoper bola pada Kenneth.
“Bawel ah, aku pacarin juga nih kamu!”
Kenneth berlari ke sisi kanan, namun dengan sigap Rose mampu merebut bola sehingga bola itu menggelinding bebas. Ia mengambil bola dan melakukan tembakan 2 point.
“Well, uda 3-0. Nggak usah sok genit, dan jaga perilaku kamu!” kata Rose kalem sambil mengambil air minumnya di pinggir lapangan.
Kenneth tersenyum, ia menghampiri Rose sambil mendribel bola.
“Kak,” kata Kenneth.
“Apalagi?”
“Ngh… anu kak.”
“Apaan?”
“Sebenernya peluit pertandingannya tadi belum dibunyiin. Tuh kak Rere wasitnya, dia jadi nganggur daritadi kan. So, pertandingan tadi belum sah. Kalau kita man to man lagi, mau?”
Rose tersedak.
            

Sunday, August 18, 2013

What's Wrong?


It is summer, a basketball game in Los Angeles. The team is doing well, and the student section begins a chant, "We're number one! We're number one!" Kenneth sitting nearby. He is puzzled by the cheer. At one point, in the midst of "We're number one!" he rises and yells, "What's wrong with being number two?"
The students look at him. They stop chanting. He sits down, smiling and triumphant.
"Why, Dad?" Kenneth asked.
"Why what?"
"Why people trying to be number one?"
"Because they are too far to go home without winning."
"But, there is nothing wrong with being second."
"And there is nothing wrong with being first," Dad answered, "You know kid, you have to be number one, because no one knows number two," He smiled.


Friday, August 9, 2013

A Basketball Short Story


The park was almost crowded at this hour, Kenneth and his dad were glad. The sound of happy children playing basketball was noisy.
“Dad, can I be a great basketball player?” Kenneth asked.
            “Why do you ask?”
            “Because I can’t touch the rim. I’m short,” Kenneth shrugged.
“That’s why I’m here. Look!”
 Daddy holds Kenneth and put his little hero on his shoulder so Kenneth could reach the hoop.
             “BLAMMM!” Kenneth got easy dunk.
 “Did I look like Kobe Bryant, Dad?” Kenneth laughed and gleamed.

            “Sure! But you’re not the next Kobe Bryant. You’re the next of yourself. You’re great, and you’ll always be,”  He kissed Kenneth.

Friday, August 2, 2013

About The Distance

      Pernah LDR-an kan? Pernah kan? Yowes. Ini ada dua lagu tentang LDR yang kalian harus dengerin! Kalau nggak dengerin aku peluk nanti! Yang pertama adalah The Distance, agak galau gimana gitu. Yang kedua Gresik California, gak galau kok, yang bikin galau ya mungkin karena perasaan kamu sama dia aja.


The Distance 

I just can’t sleep tonight
Waiting something that never come
Oh, God, why this is happened to me
I can’t believe that it was scared to see

Please stay here with me
Sing together til’ the sun greet me
Lets remember our fun memory

The distance, try to kill our love, try to kill our faith
But my struggle is strong enough to hold you.

Time is passing by
But I still can’t sleep
Trying to relax
But its hard to close my eyes

You sit in the corner of my mind
The picture of you was clearly to find
I need you right now!
Cuddling you until the morning comes


The distance, try to kill our love, try to kill our faith
But my struggle is strong enough to hold you.
This silence, hurt and bruised me, stab and broke me
But my struggle is strong enough to hold you.
is strong enough to hold you.

 Download here on my soundcloud https://soundcloud.com/kennyose/the-distance

Gresik California 




I’m just ordinary man, I’m living in Gresik for my whole life
The comfort small town in the world
With humble people note you ever known

I’m a lucky girl in this world
The California reflect the real me
For every shining in the street the Hollywood district
I’m on my own

You don’t know how its feel when my heart in here
I still remember  what our sound in favour dine at night
I feel no lonely when I see you in my dream I still hope you there
I still hope you there with me.

Every morning first when I’m wake up
I always check inbox on my email
Hope there’s new letter from you
The update photograph of you to heal this loss

You don’t know how its feel when my heart in here
I still remember  what our sound in favour dine at night
I feel no lonely when I see you in my dream I still hope you there
I still hope you there with me.

Someday the most awaited day if
Someday I’ll be there and you’ll find me in
Everything you want
Long distance that we have passed will blown away
Someday the most awaited day if
Someday I’ll be there for youuuuuu.
Download here on soundcloud  https://soundcloud.com/kennyose/gresik-california

Wednesday, July 10, 2013

Little Things

Aku senang hari ini bisa berlatih kembali semenjak kekalahan itu. Berhubung Arena basket di sekolah sedang digunakan untuk acara OSIS, terpaksa kami latihan di lapangan luar, lapangan upacara yang lumayan luas, namun tak ada ring basket sehingga kami hanya mendribel bola tanpa berlatih shooting.
Hari ini, tak hanya hatiku saja yang mendung, bahkan langitpun turut merasakan kesedihanku. Langit tampak gelap dan mulai turun monster berkepala tiga dengan sayap yang runcing dan mengerikan, eh nggak ding, langitnya cuman menurunkan tetes-tetes air aja kok.
Hujan pun turun untuk mengeroyok kerak bumi.
“Nunguin hujan reda itu ngebosenin,” ucap Kemal. Ia melepas kaos kaki dan sepatunya, “kenapa kita nggak nikmatin aja apapun keadaannya?” lanjutnya.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Ngeluh karena suatu hal itu nggak baik, enjoy lah! Segala sesuatu bakal lebih baik kalau dinikmati kok!”  ia berlari ke tengah lapangan. “Ayo guys hujan-hujanan!” teriaknya pada kami.
Beberapa temanku pun menyusulnya. Mereka merentangkan tangannya dan menengadahkan kepalanya kelangit. Semuanya menikmati dinginnya hujan tanpa beban. Mereka saling mencipratkan air di tanah yang kotor, namun tetap diwarnai oleh tawa.
“Kesedihan itu sama seperti hujan. Bagi beberapa orang, hujan memang menyebalkan. Namun bagi mereka yang tahu cara menikmati hidup, hujan bukanlah masalah,” kata coach sembari matanya tertuju pada teman-temanku yang bermain air di tengah lapangan.
“Tanpa adanya hujan hari ini, kamu mungkin nggak bakal ngelihat canda tawa mereka hari ini. Aku kira hanya kemenangan saja yang bisa membuat mereka tersenyum selepas ini. Tapi aku salah, justru hujan pun bisa membuat mereka begitu bahagia,” coach tersenyum, “aku semakin yakin, kebahagiaan kadang muncul dari hal kecil yang tak pernah kita sadari.”
Aku mulai mengerti. Kesedihan memang tak seharusnya terlalu dipikirkan, harusnya aku mulai berpikir bagaimana menikmati kebahagiaan dan melupakan apa yang membuat senyumku tak melingkar.
“Kenapa masih diam aja?” kata coach.

Aku tersenyum ke arahnya, kemudian aku melepas sepatuku, dan berlari ke arah teman-temanku dan memulai tawa yang tiada habisnya. Aku senang, karena disamping itu, air mataku tersamarkan oleh air hujan. 

Thursday, June 13, 2013

Hold A Piece of The Pain

          
Kita semua pasti pernah ‘hampir’ berhenti memperjuangkan sesuatu karena tak kuat menahan rasa sakit. Ankle misalnya, berapa banyak dari kalian yang berpikir, “Oh, God. It’s hurt! I’m quit!” atau, berapa banyak dari kalian yang tetap berjuang dan berkata, “This injury isn’t the end of the world. I know I’ll be fine”?
                Counting the pain for a while will make it worse. So, what should you do?
                Actually, life is the art of holding the pain, entah itu rasa sakit secara batin, maupun fisik. Ya namanya manusia, pasti ngerasain sakit. Kalau sakitmu cuma biasa-biasa aja, ya bersiap aja kalau suatu hari nanti rasanya luar biasa.  Ada juga yang bilang, “Our body is really the product of our thoughts,” jadi sebenernya rasa sakit itu kalau semakin dipikirin ya bakal semakin sakit.  Kalau sakit ya jangan mikir sakit. Terus mikir apa? Mikirin aku aja.
                Banyak hal yang menyenangkan buat dilakuin. Saking banyaknya, ada buku yang berjudul 14.000 Things To Be Happy About. Yang harus kamu lakuin adalah, temukan hal kecil yang ngebuat kamu bahagia. Jangan hal besar, hal kecil aja dulu. Seperti, kalau kamu gak bisa main basket karena kakimu cidera, ya main aja di PS atau android, nonton pertandingan NBA di TV, atau nonton langsung ke DBL Arena karena barangkali aja pas pulang dapet gebetan. Iya, barangkali. Yang penting, make everyday count. Appreciate every moment, karena diluar sana pasti ada seseorang yang berharap bahwa hidupnya bakal seberuntung hidup kamu.
                Cidera bukan akhir dari segalanya. Akhir dari segalanya itu kalau kamu sendiri yang memutuskan buat berhenti. Kalau bukan karena adanya rasa sakit seperti cidera itu, hidup nggak ada seninya alias straight, flat road to nowhere. Kalau hidup mulus-mulus aja tanpa rasa sakit, it would be safe and comfortable. Enak sih hidup kayak gitu, tapi itu cuma ngejadiin kamu sebagai manusia yang tumpul.
                Ingat, pemain-pemain yang sukses di lapangan itu cuma orang biasa yang mampu melawan rasa sakit saat berlatih setiap harinya.
“Tapi kan…”                              
Udah, nggak usah tapi-tapian. Tahan aja rasa sakitnya. Rasa sakit hanya sementara, tapi memutuskan untuk berhenti adalah coretan yang bakal terasa selamanya.
We may get knock down, but we don’t have to stay down.


Thursday, May 2, 2013

Waktu


Di ulang tahunku yang ke 17, sahabatku, Andre memberiku sekotak kecil kado yang terbungkus dalam kertas berwarna biru. Tumben sekali dia, biasanya hanya membungkusnya dengan kertas koran seadanya dan membuatku malas membukanya. Kado itu berisi jam tangan yang membuatku makin keren. Jam tangan pemberiannya itu selalu aku pakai untuk menghormatinya, dan untuk menghormati diriku sendiri.
Suatu hari, dia tiba-tiba cerewet mengingatkanku, “Jangan telat latihan deh daripada dihukum lebih kejam sama coach.”
“Aku sih nyoba gak telat, tapi keadaan malah ngebuat aku terpaksa telat.”
Ia menatapku serius, “Kalau aku uda nggak ada lagi, dan gak main lagi, apakah hari ini kamu bakal berusaha tepat waktu?”
Aku hanya menganga tanpa menjawabnya.
Ia beranjak dan meninggalkanku dengan senyuman yang tak seperti biasanya.
Sore itu, ketika matahari masih memamerkan cahaya kuningnya, aku memarkir motorku dan berjalan menuju lapangan basket.
“Tumben gak telat?” sindir Coach.
Aku hanya tersenyum pahit.
“Oh iya, dan tumben si Andre belum dateng?” katanya.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku mengangkatnya. Mendengarkan seseorang yang sedang bicara diluar sana. Aku mengangguk, perlahan lalu menangis tak percaya. Kemudian aku berlari meninggalkan tempatku berlatih.
Aku menatapnya sambil sesekali mengusap air mataku sendiri yang sengaja aku biarkan tumpah dengan leganya.
Aku melihat jam tangan pemberiannya.
 “Jangan telat, ayo kita latihan,” kataku sambil memegang batu nisannya.
Waktu adalah hal yang kita anggap berharga namun sama sekali tak pernah kita manfaatkan sebaik mungkin, setepat mungkin. Menyesal adalah lawan kita tapi kita malah menganggapnya sebagai kawan. Ah, hidup kadang rumit. Bukan, bukan hidupnya yang rumit, tapi manusianya yang bikin rumit.
Ah udahlah. Hargai saja waktumu sebelum Tuhan mengambilnya.

Friday, April 19, 2013

Injury Never Stop Me



I’m enjoying my life and suddenly something hurts arround my shoulder. The result of the x-ray makes me surrender. I’m on my knees.
I saw them playing basketball. I saw them smile. I saw them laugh. I saw the happiness on them, and I just sat inside of the court, doing nothing.
My friend texted me, “What’s wrong with you?”
“Everything was wrong. I can’t play basketball anymore.”
“It’s just for 6 months and you will be in the court again with me. Cheer up! It’s not the end of the world.”
“I should hope not but 6 month makes me die.”
He doesn’t reply my last text. Suddenly, I catch them in front of my house.
“What are you doing here?”
“Where is your notebook?” he asked.
“For what?”
“Where is your notebook?” he said with a frown.
“In my room.”
He walks into my room. Opened my notebook and ten minutes later, he smiles.
“TARAAAA! You can play basketball again,” he said.
“NBA game?”
“Yes!”
“I never thought about it.”
“Is there anything else I can do for you?” he gives me a cool smile.
Injury makes you sick, but friendship makes you feel great!

Monday, January 21, 2013

The Sixth Player - Part 2


“Bener kan yang aku bilang? Pemain seperti kamu itu nggak pantes duduk di bangku cadangan,” kata Kevin pada Irene yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Irene menutup laptopnya dan memandang Kevin, “Thanks!”
Sebuah senyuman manis itu tertuju pada pria di depannya, Kevin.
“Cuma thanks doang?”
“Kalau ada kata yang lebih baik dari ‘terima kasih’ pasti bakal aku ucapin.”
“Okelah, kalau gitu. Sama-sama!” Kevin pun duduk tepat di depan Irene.
“Tapi sorry aku harus pergi dulu, ya!” kata Irene tergesa.
“Aku baru aja duduk, kamu malah pergi. Mau kemana sih?”
“Mau ikut?”
Kevin mengangguk.
“Beginilah aku, setiap ada jam kuliah yang kosong, pasti latian shooting,” kata Irene sambil melepas jaketnya.
“Latian sendirian?” tanya Kevin.
“Iyalah, masa latihan basket sama dosen.”
Irene mulai membuka kunci ruang tempat penyimpanan bola. Ia memasukki ruangan itu dan kembali dengan membawa 4 bola di tangannya sedangkan sisanya lagi menggelinding tak karuan.
Ia pun mulai menata bola secara acak. Ada yang ia taruh di bawah ring, di daerah free throw, ada yang ia taruh di sudut lapangan, ada juga beberapa yang ia taruh di luar zona three point.
Irene melakukan pemanasan. Kemudian memulai untuk melakukan shot. Menunduk mengambil bola, drible, shooting. Drible lagi, shooting. Drible, shooting. Begitu seterusnya. Dari 50 tembakan yang ia lakukan, ada 40 bola yang melesat tepat ke ring.
                “Wait! Ini nggak seru. Kamu shooting tapi nggak ada yang jaga, sama kayak… kayak apa ya? Ah, lupain. Sini aku yang jaga, kamu yang offense,” sahut Kevin yang kemudian berjalan ke arah Irene.
                “Jadi ceritanya aku lagi duel sama kapten basket cowok? Fine! Tapi awas kalau senggol-senggol!” Irene pun melakukan check ball.
                Kevin mengumpan balik bola basket pada Irene dan berkata, “Ren, kamu itu nggak ada semoknya. Kalau nyenggol kamu juga rugi,” Kevin pun tertawa.
                “SLEBBBBB!!”  bola basket masuk ring dengan mulusnya.
                “Maaf kapten, tapi skor kita 3-0,” Irene tersenyum sinis.
                “Tapi kan belum di…”
                “Kapten, it’s your turn. Jangan cerewet yah, tar gampang capek loh,” kata Irene sambil memberikan bola pada Kevin. Giliran Kevin yang melakukan offense.
                “Oh jadi gitu ya cara main kamu shooter manis? Coba lihat ini,” Kevin menembak dari garis 3 point, namun sayangnya air ball, bola sama sekali tak menyentuh papan maupun ring.
                “Ups! Kok tembakan kamu nggak masuk? Bolanya yang kurang keras atau ringnya yang kurang maju yah?” ejek Irene.
                “Iya iya iya! Sekarang giliran kamu!” sahut Kevin kesal.
                Irene memegang bola. Sejenak ia memikirkan cara untuk melewati pria besar di depannya. Ia mendrible dan melangkah ke arah kiri, namun dengan cepatnya ia mengarahkan bola dan melaju ke kanan, begitu mudahnya ia melewati Kevin. Tanpa ragu ia mengeksekusi bola dengan lay-up dan bola pun masuk.
                “Maaf kapten, 5-0!” Irene tertawa kecil.
                “Santai aja, bakal aku bales kok. Giliran aku yang offense, sini bolanya!” pinta Kevin.
                “KEVIIIIIIN!” teriak Kelly sambil terengah-engah mengatur napasnya.
                Kevin menoleh kearah Kelly dan “BRAKKK!!!” bola basket yang di passing oleh Irene mengenai wajahnya. Kevin terlihat kelimpungan.
                “Maaf kapten. Maaf! Are you ok?” kata Irene panik.
                Kevin menatap Irene dan terlihat darah mengalir dari hidungnya.
                Kelly membantu Kevin berjalan duduk di bench. Beruntung Irene membawa tissu, sehingga darah itu bisa ia bersihkan
“Kalau kamu tadi nggak noleh pasti nggak bakal kayak gini. Sorry, Kev!” Irene membersihkan sisa-sisa darah di sela-sela jemari Kevin.
“Ehem.. Sorry ya ganggu. Aku kesini mau ngasih flashdisk ini Kev, besok giliranmu presentasi. Ya udah lanjutin lagi mainnya, soalnya aku uda pesen makan di kantin. Daaaaa..” Kelly mengedipkan matanya pada Kevin lalu beranjak pergi.
“Kita lanjut main yuk?” Kevin berjalan mengambil bola.
“Tapi kan hidung kamu…”
“Ah.. udahlah. Aku ini anak basket, bukan boyband. Keadaaan kayak gimanapun kudu tetep main, apalagi main sama kamu. Aku harus menang pokoknya. Harga diri dipertaruhkan!”
“Ciee pake bawa harga diri segala!”
“Can I start now?”
“Sure!”
Kevin mendrible bola ke arah kanan dengan kecepatan penuh, kemudian berhenti tiba-tiba dan mengayunkan bola dari tangan kanan, bola terpantul di belakang badannya atau biasa di sebut behind the back, lalu bola mendarat di tangan kirinya dan melakukan jump shot.
“5-3! Maaf Shooter! And now its your turn!” kata Kevin.
“Ok! Let see!”
Irene melangkah ke arah kiri, ketika ia memantulkan bola dari tangan kiri menuju tangan kanan, Kevin dapat menghalau dengan mudah, sehingga bola terlepas dari Irene.
“Mau crossover lagi? Come on! Uda kebaca!”
Irene tertunduk dan mengatur napasnya.
“Ya uda deh giliran kamu offense lagi. Nih!” ujar Kevin.
Irene menangkap bola yang dipassing oleh Kevin. Ia mendrible langsung melewati Kevin dan melakukan jump shot, namun dengan mudahnya Kevin mampu memblocking tembakan Irene sehingga bola keluar dari lapangan.
Kevin memberikan bola itu lagi pada Irene, dan raut cemberut terukir di wajah wanita setinggi 160cm itu.
                 “Ayo! Kali ini aku nggak bakal biarin kamu lewatin aku,” ujar Kevin.
                Kiri kanan kiri kanan kiri kanan kiri kanan. Mata Kevin tak luput dari bola yang sedang Irene drible. Irene melaju ke arah kanan, kemudian memantulkan bola dan melakukan gerakan memutar ke kiri lalu mengeksekusinya dengan under ring namun lagi-lagi bola itu dengan mudahnya di block oleh Kevin.
                “Oke I know you’re better than me,” Irene merebahkan dirinya di lantai lapangan basket.
                “Badan kamu lebih gede dan lebih tinggi dari aku. Apapun gerakan yang aku lakuin pasti beresiko,” Irene mengatur napasnya.
                Kevin duduk di samping Irene.
                “Namanya aja basket, pasti penuh resiko,” Kevin tersenyum menatap Irene.
                “Life is like basketball, sometimes you must choosing the right way to move, although it’s full of risks. Mau passing, pasti resikonya kena steal. Mau drible pasti resikonya crush sama lawan dan bola kena steal. Mau shooting, pasti resikonya kalau gak kena block ya bola nggak masuk….” Belum sempat kevin melanjutkan kalimatnya, irene memotongnya.
 “Mau diem? Diem malah lebih beresiko, dikepung lawan and you can’t do anything. It’s the stupid thing,” Irene tertawa.
“Tapi apapun resikonya, kamu bakal ngambil salah satu diantara gerakan itu. Entah kamu akan passing, drible, shoot, karena cuma bergeraklah satu-satunya cara yang punya tujuan, point!” jelas Kevin.
“And I will take risks, kalau aku menang, aku bisa memimpin. Kalau aku kalah, aku bisa belajar,” Irene bangun dan duduk di lantai.
“Right! If you're not making mistakes, you're not taking risks, and that means you're not going anywhere. Aku ngebayangin seberapa banyak resiko yang uda di ambil Michael Jordan hingga dia bisa sesukses itu,” kata Kevin sambil memandang ring basket.

Tuesday, January 15, 2013

Everyone Is Hero

   Iseng nyiptain lagu, record dibantu teman. dan jeng..jeng..jeng.. jadilah sebuah lagu yang entah kalian akan komentarin dengan kata-kata apa. Judulnya Everyone Is Hero.



I walk alone on the court
Thinking all about my team
Eventhough deep in my heart
Just try the best and show it
        
No matter how deep the pain I play this game
No matter how hard this life I still play this game

You can’t stop our teammates glory
Dreams and hope we take it proudly
Because everyone is hero
And the world have to know
Another eyes are waiting
For you to believe
When you get what you want too
Hold on your faith
No matter how deep the pain I play this game
Just look in the mirror and see you’re great

          You can’t stop our teammates glory
           Dreams and hope we take it proudly
          Because everyone is hero
           And the world have to know (3x)
This song is dedicated to all of basketball player.
Sorry kalau lagunya jelek.

You can download the song here Everyone Is Hero

You can watch this video here

Everyone Is Hero

Wednesday, January 9, 2013

The Sixth Player - Part 1

                “Namanya aja hidup, kalau menang terus mah nggak ada seninya. Justru kekalahan itu ngajarin kamu banyak hal,” kata Kelly.
                “Ya kan aku malu kalau tim aku kalah terus, Kell! Nggak liat apa tadi si Rio yang anak futsal itu nyinyirin aku?” Jawabku lesu.
                “Kalah kok malu! Kevin… Kevin…! Kalau belum apa-apa udah nyerah, baru deh malu sama diri kamu sendiri. Kalau kamu malu karena kamu kalah, potong aja burungmu,” sahutnya sambil diiringi tawa kecil, “lagian anak futsal mah nggak usah di urusin. Tuh anak kalau disuruh main basket pasti malah kagak bisa ngapa-ngapain,” lanjutnya.
                Aku hanya membalasnya dengan senyuman datar.
                “Aku balik ke kelas dulu ya! Kata temenku dosennya uda masuk,” ujar Kelly sambil tetap sibuk menatap layar handphonenya.
                Entah niat apa yang menyelimutiku hingga aku berjalan tanpa sadar menuju lapangan basket. Kubuka pintu arena basket secara perlahan, lalu aku masuk dan mendapati seorang cewek berlatih shooting sendirian.
                Aku melangkah dan duduk di bench sebelah utara sambil menatap cewek yang dengan gigihnya berlatih itu. Shootingnya 80% akurat, namun anehnya, kenapa cewek seperti dia nggak pernah aku liat di tim inti basket putri di kampus?
                Cewek itu memandangku, lalu ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku sambil mengelap keringatnya dengan handuk.
                “Kamu Kevin anak bahasa Inggris itu, ya? Kenalin, aku Irene, anak hukum” ia mengulurkan tangannya dan kami pun bersalaman.
                “Oh, wait. Kok kamu tau nama aku? Tau jurusan aku pula,” kataku heran.
                “Ya taulah, Kev. Dimana-mana anak basket itu famous, jadi nggak usah kaget kalau ada orang asing yang kenal sama kamu.”
                “jangan bikin GR gitu deh, Ren. Kamu kan anak basket juga, tapi kenapa aku nggak pernah liat kamu ya?”
                “Mungkin karena kamu fokus lihat ke lapangan, kamu nggak pernah lihat siapa aja yang duduk di bench.”
                “Maksud kamu?” tanyaku.
                “Aku ini sixth player alias pemain cadangan, jadi maklum kalau kamu nggak pernah liat aku,” jawabnya dengan senyuman.
                “Cewek sehebat kamu duduk di bangku cadangan? Kayaknya coach harus tau deh kalau dia punya pemain emas seperti kamu. Memangnya kamu nggak pernah komplain sama coach?”
                “Iya, di bangku cadangan, masa di bangku kuliah mulu. Komplain? Terus aku harus bilang ‘coach aku ini hebat loh coach, plis coach mainin aku’ gitu?”
                “Ya, nggak gitu juga sih. Tapi seenggaknya kamu bilang  ke mereka kalau kamu ini pantas jadi pemain inti.”
                “Well, sebelum aku nunjukkin ke orang lain kalau aku hebat, aku harus nunjukkin sehebat apa aku ini pada diriku sendiri. Dan selain hard work, menjadi pemain inti atau enggak adalah persoalan waktu. All I can do is waiting for the right time, kalau waktunya tepat pas coach mainin aku di lapangan, saat itulah aku nunjukkin kehebatanku,” pungkasnya. Ia pun mengenakan jaket berwarna merah yang ia ambil dari dalam tasnya.
                “Aku harap secepatnya aku bisa ngeliat kamu di lapangan,” aku tersenyum memandangnya.
                “Dan aku harap kamu juga jangan lupa liat para pemain yang duduk di bench. Pemain terhebat di  5 tahun yang akan datang, mungkin sekarang lagi menikmati masa down-nya duduk di bangku cadangan. God knows,” ujarnya.

Sunday, January 6, 2013

Thanks, Dad.

“Kamu kemana saja? Beli minum kok lama banget?” kata ayah padaku.
“Hehe.. tadi ke toilet dulu, Yah!” jawabku sambil membenarkan posisi dudukku.
Hari ini aku dan ayahku sedang menonton pertandingan bola basket di DBL Arena. Mumpung CLS berhadapan dengan Satria Muda, aku pun tak mau kelewatan sehingga aku meminta ayah untuk menemaniku menonton.
Aku dan ayahku duduk di tribun tepat di belakang para petugas scoresheet. Para pemain yang bertanding pun melakukan pemanasan. “Pemanasan aja keren, apalagi pertandingannya ya?” kataku dalam hati.
“Kamu tau apa bedanya para pemain itu dengan kamu?” tanya ayah sambil menunjuk salah satu pemain Satria Muda.
Aku mengangkat salah satu alisku dan berkata, “Mereka tinggi dan aku pendek?”
“Bukan. bukan masalah fisik. Lagipula, kamu tak perlu menjadi raksasa untuk meraih bintang bukan?”
“Emmmmm…” aku mencoba  mencari jawaban.
“Oke ayah, aku menyerah,” kataku pasrah.
“Yang membedakan kamu dengan para pemain itu adalah, kamu berlatih seminggu dua kali dan mereka berlatih setiap hari.”
“Ayah salah, aku berlatih seminggu tiga kali,” aku mengelak.
“Tapi setiap hari Minggu pagi kamu selalu kesiangan sehingga kamu tak pernah sempat untuk berlatih, bukannya begitu?”
Aku hanya tertawa kecil.
“Kalau kamu punya jam berlatih tinggi, ayah yakin kamu bisa bermain di lapangan megah ini,” ia tersenyum padaku.
“Kenapa ayah begitu yakin?”
“Karena kamu anakku.”
Aku menatapnya penuh haru. Aku senang aku punya sosok ayah yang mendukungku, di saat aku tak percaya pada diriku sendiri, justru ayah yang selalu menyemangatiku.
 “Ayah tahu persamaan pemain itu denganku?” tanyaku.
Ayah menggelengkan kepalanya
“Persamaannya adalah, kami sama-sama pernah kalah, Yah!”
“Tapi bedanya, mereka kalah namun tak pernah menyerah. Sedangkan kamu?”
“Ah, Ayah! Jangan menyindirku!”  aku memonyongkan bibirku lalu berkata, “Yah, Andai aja mama masih hidup dan bisa nonton basket di sini.”
Tangan ayah melingkar dan memelukku, “Ayolah, anak perempuan ayah jangan mengeluh. Mama pasti sedang menonton basket juga di surga.”